Pages

Kamis, 20 Oktober 2011

TEORI-TEORI PEMBENTUKAN KELOMPOK


TEORI-TEORI PEMBENTUKAN KELOMPOK

1. Teori Kedekatan (Propinquity)
Teori kedekatan menjelaskan tentang adanya aliansi diantara orang-orang tertentu. Seseorang berhubungan dengan orang lain disebabkan karena adanya kedekatan ruang dan daerahnya.
2. Teori Interaksi (George Homans)
Teori interaksi berdasarkan pada aktivitas, interaksi dan sentiment (perasaan atau emosi) yang berhubungan secara langsung. Ketiganya dapat dijelakan sebagai berikut:
a. Semakin banyak aktivitas seseorang dengan orang lain, semakin beraneka interaksinya dan semakin kuat tumbuhnya sentiment mereka.
b. Semakin banyak interaksi diantara orang-orang, maka semakin banyak kemungkinan aktivitas dan sentiment yang ditularkan pada orang lain.
c. Semakin banyak aktivitas dan sentimen yang ditularkan pada orang lain, dan semakin banyak sentiment orang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak kemungkinan ditularkannya aktivitas dan interaksi-interaksi.
3. Teori Keseimbangan (Theodore Newcomb)
Teori keseimbangan menyatakan bahwa seseorang tertarik kepada yang lain adalah didasarkan atas kesamaan sikap (seperti: agama, politik, gaya hidup, perkawinan, pekerjaan, otoritas) di dalam menanggapi suatu tujuan.
4. Teori Pertukaran
Teori ini ada kesamaan fungsinya dengan teori motivasi dalam bekerja. Teori kedekatan, interaksi, keseimbangan, semuanya memainkan peranan di dalam teori ini.
Secara praktis pembentukan kelompok bisa saja terjadi dengan alasan ekonomi, keamanan, atau alasan social. Para pekerja umumnya memiliki keinginan afiliasi kepada pihak lain.
Karakteristik yang menonjol dari suatu kelompok antara lain:
a. Adanya dua orang atau lebih
b. Berinteraksi satu dengan yang lain
c. Saling berbagi beberapa tujuan yang sama
d. Melihat dirinya sebagai suatu kelompok.


Teori-teori pembentukan kelompok

1. Teori propinquity atau teori kedekatan
Teori ini mengemukakan bahwa kedekatan seseorang dipengaruhi oleh adanya kedekatan ruang dan daerahnya. Sebagai contoh seorang mahasiswa yang duduk berdekatan dengan mahasiswa lain dikelas akan lebih mudah membentuk suatu kelompok dibandingkan dengan mahasiswa lain yang duduknya berjauhan.
2. Teori George Homans
Teori ini berdasarkan pada aktifitas0aktifitas, artinya sesorang berhubungan dengan orang lain dipengaruhi oleh semakin banyaknya aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh orang tersebut dengan orang lain. Semakin banyak berinteraksi semakin kuat tumbuhnya keinginan untuk membentuk kelompok diantara mereka.
3. Teori keseimbangan
Teori ini dikembangkan oleh Theodore Newcomb, teori ini menyatakan bahwa seseorang tertarik kepada orang lain didasarkan atas kesamaan sikap di dalam menanggapi sesuatu hal.
4. Teori pertukaran
Teori ini didasarkan atas interaksi dan susunan hadiah-biaya-dan hasil. Suatu tingkat positif yang minim yakni hadiah lebih besar dari biaya kan memberikan suatu daya tarik yang mendorong timbulnya kebutuhan untuk membentuk kelompok
5. Teori practicalities
Contoh dari teori ini adalah karyawan suatu organisasi yang mengelompok disebabkan karena alas an ekonomi, keamanan, atau alas an-alasan sosial.

Pengertian dan Unsur - Unsurnya
Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga sering dikenal sebagai kemampuan untuk memperoleh konsensus anggota organisasi untuk melakukan tugas manajemen agar tujuan organisasi tercapai.
   
a.    Menurut George Terry, Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka rela untuk mencapai tujuan kelompok.
   
b.    Menurut Cyriel O'Donnell, kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum.

Dari dua pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan terdiri atas :
1.      Mempengaruhi orang lain agar mau melakukan sesuatu.
2.      Memperoleh konsensus atau suatu pekerjaan.
3.      Untuk mencapai tujuan manajer.
4.      Untuk memperoleh manfaat bersama.
Sehingga jika dilihat pada konteks kepemimpinan hal yang saling terkait adalah adanya unsur kader penggerak, adanya peserta yang digerakkan, adanya komunikasi, adanya tujuan organisasi dan adanya manfaat yang tidak hanya dinikmati oleh sebagian anggota.

Pengertian Kepemimpinan
Secara etimologi pemimpin berasal dari kata pimpin yang berari“The art of influencing and directing meaninsuch away to obatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission” ( kepemimipana adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakan orang-orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek dan kerjasama secara loyal untuk menyelesaikan suatu tugas- Field Manual 22-100). suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.

PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI KELOMPOK
Kelompok Sosial
Kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang mengadakan interaksi sosial agara ada pembagian tugas, struktur dan norma yang ada.
Berdasarkan pengertian tersebut kelompok sosial dapat dibagi menjadi beberapa, antara lain:
a. Kelompok Primer
Merupakan kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan erat dalam kehidupan.
Sedangkan menurut Goerge Homan kelompok primer merupakan sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang yang acapkali berkomunikasi dengan lainnya sehingga setiap orang mampu berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara.
Misalnya: keluarga, RT, kawan sepermainan, kelompok agama, dan lain-lain.
b. Kelompok Sekunder
Jika interaksi sosial terjadi secara tidak langsung, berjauhan, dan sifatnya kurang kekeluargaan. Hubungan yang terjadi biasanya bersifat lebih objektiv.
Misalnya: partai politik, perhimpunan serikat kerja dan lain-lain.
c. Kelompok Formal
Pada kelompok ini ditandai dengan adanya peraturan atau Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) yang ada. Anggotanya diangkat oleh organisasi.
Contoh dari kelompok ini adalah semua perkumpulan yang memiliki AD/ART. yaitu: arisan, geng, kelompok belajar, teman-teman bermain golf.
d. Kelompok Informal
Merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotan kelompok biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal dan hanya berdasarkan kekeluargaan dan simpati
Misalnya: kelompok arisan.
e. Kelompok referensi
Merupakan kelompok sosial yang menjadi ukuran bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Seseorang itu telah menyetujui norma, sikap, dan tujuan dari kelompok tersebut.

1. Menurut John Piffner, Kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan
mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki

2. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu

3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti Kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan

kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku Aeseorang atau sekelompok orang untuk meneapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengafuhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utatna seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang posetif dalam usaha mencapai tujuan.

TEORI PERSPEKTIF KONTINGENSI


TEORI PERSPEKTIF KONTINGENSI

DI SUSUN OLEH
32.09.0884
32.09.0885
32.09.0892

Teori kontingensi yang mula diperkenalkan oleh Lawrence dan Lorsch (1967) dan kemudiannya diguna pakai oleh Kast dan Rosenzweig (1973) yang menyatakan bahawa tiada satu cara yang terbaik untuk mencapai dan perlu sepadan dengan faktor organisasi dan persekitaran untuk memperoleh prestasi yang baik bagi sesebuah organisasi. Xiao et al., (1997) menjelaskan bahawa perspektif kontingensi adalah setanding (analogous) dengan teori kontingensi bagi organisasi. Walau bagaimanapun, tiada tanpa kritikan tersendiri Schoonhoven, 1981), teori ini kelihatan sebagai penggabungan dan kerangka kerja umum, dan menduduki kedudukan yang penting di kalangan teori organisasi moden (Ford et al., 1988). Xiao et al., (1997) menyatakan bahawa perspektif kontingensi mempunyai prinsip umum termasuklah: (1) tiada satu cara yang terbaik untuk mengurus (Galbraith, 1973), (2) walau apa cara pun pengurusan, ianya tidak sama keberkesanannya (Galbraith, 1973), dan (3) cara terbaik untuk mengurus bergantung kepada keadaan persekitaran sesebuah organisasi (Galbraith, 1973; Lawrence dan Lorsh, 1967; Scott, 1987). Dalam konteks perakaunan, teori kontingensi adalah berasaskan premis bahawa secara umumnya tiada satu sistem perakaunan yang sesuai diaplikasikan secara saksama kepada semua organisasi dalam sebarang keadaan (Rayburn dan Rayburn, 1991). Teori kontingensi merupakan suatu teori yang sesuai diguna pakai dalam kajian yang berkaitan reka bentuk, perancangan, prestasi dan kelakuan organisasi serta kajian yang berkaitan pengurusan strategik (Sari et al., 2006). Tambahan lagi, menurut teori ini keberkesanan organisasi merupakan hasil daripada kesesuaian atau kepadanan antara ciri-ciri organisasi, seperti struktur organisasi dengan faktor faktor kontingensi yang menggambarkan persekitaran sesebuah organisasi (Donaldson, 2000). Struktur kontingensi berkemungkinan menyediakan pendekatan yang lebih holistik untuk membina sistem perakaunan pengurusan (Rayburn dan Rayburn, 1991). Rayburn dan Rayburn
(1991) menjelaskan lagi bahawa teori kontingensi mencadangkan bahawa pemilihan pihak pengurusan bagi sistem perakaunan dalaman adalah bergantung kepada perbezaan desakan sesuatu entiti. Pemboleh ubah kontingensi yang sering digunakan dalam bidang ini (Gordon dan Miller, 1976; Hayes, 1977; Waterhouse dan Tiessen, 1978) ialah atribut organisasi, persekitaran, teknologi dan cara pembuatan keputusan. Chenhall (2003) menyatakan pemboleh ubah kontingensi yang terkandung dalam penyelidikan berasaskan kontingensi berkenaan sistem kawalan pengurusan terdiri daripada persekitaran, teknologi, saiz, struktur, strategi dan budaya tempatan. Dalam konteks sistem maklumat, Weill dan Olson (1989) menyimpulkan bahawa penyelidikan daalam bidang Sistem Maklumat Pengurusan (Management Information Systems @ MIS) mempunyai pemboleh ubah kontingensi, iaitu: strategi, struktur, saiz, persekitaran, teknologi, tugas dan karakter individu. Manakala, Tosi dan Slocum (1984) pula menyatakan menjadi satu kelaziman pendekatan kontingensi merupakan cadangan bahawa prestasi adalah
padan atau sesuai dengan beberapa faktor, iaitu: struktur, warga, teknologi, strategi dan budaya.
Terdapat kesepakatan pemboleh ubah kontingensi yang digunakan di antara penyelidikpenyelidik di dalam bidang sistem perakaunan pengurusan, sistem maklumat perakaunan dan perakaunan pengurusan (Tosi dan Slocum, 1984; Weill dan Olson, 1989; Rayburn dan Rayburn, 1991; Chenhall, 2003), iaitu: persekitaran dan teknologi. Manakala, pemboleh ubah lain yang sering digunakan di kalangan para penyelidik sebagai tambahan kepada pemboleh ubah kontingensi iaitu: struktur (Tosi dan Slocum, 1984; Weill dan Olson, 1989; Chenhall, 2003); strategi (Tosi dan Slocum, 1984; Weill dan Olson, 1989; Chenhall, 2003); saiz
(Chenhall, 2003; Weill dan Olson, 1989); budaya (Chenhall, 2003; Tosi dan Slocum, 1984); karakter individu ( Weill dan Olson, 1989); tugas (Weill dan Olson, 1989); bangsa (Tosi dan Slocum, 1984); atribut organisasi (Rayburn dan Rayburn, 1991); dan cara pembuatan keputusan (Rayburn dan Rayburn, 1991). Thomas (1991) menjelaskan bahawa teori kontingensi menjadi penting sebagai medium bagi menerangkan perbezaan dalam struktur organisasi. Pemilihan pihak pengurusan bagi praktis pelaporan kewangan korporat adalah bergantung kepada perbezaan desakan sesebuah entiti (Thomas, 1991). Thomas (1986) menyatakan reka bentuk organisasi bergantung kepada ketidakpastian persekitaran, teknologi dan saiz organisasi. Thomas (1991) menjelaskan lagi bahawa terdapat empat pemboleh ubah kontingensi yang memberi kesan kepada sistem pelaporan kewangan korporat iaitu: sosial, persekitaran, ciri syarikat atau atribut organisasi, dan ciri pengguna dan sumber maklumat yang lain. Sepertimana Thomas (1991), Xiao et al., (1996) menyatakan terdapat beberapa faktor kontingensi yang membentuk organisasi. Antaranya ialah: persekitaran perniagaan, teknologi, saiz, strategi pelaporan dan budaya. Faktor kontingensi ialah pemboleh ubah yang membezakan hubungan antara penggunaan teknologi maklumat dengan pelaporan kewangan korporat dan boleh digunakan untuk menggambarkan arah aliran dan darjah hubungan sebab akibat (Xiao et al., 1996) iaitu: persekitaran perniagaan, ciri organisasi, politik, sosial, ekonomi dan teknologi. Justeru, pemboleh ubah kontingensi yang berpengaruh dalam pemilihan pihak pengurusan dalam pelaporan kewangan korporat (Thomas, 1991; Xiao et al., 1996) ialah persekitaran dan ciri syarikat. Oleh yang demikian, dapat disimpulkan di sini bahawa penulis menjangkakan bahawa pemboleh ubah kontingensi yang berpengaruh dalam pelaporan maklumat korporat ialah persekitaran, teknologi dan strategi pelaporan.

Model kontingensi sistem pelaporan kewangan korporat
Sepertimana yang dibincangkan sebelum ini, Thomas (1991) menyatakan bahawa terdapat empat pemboleh ubah kontingensi yang memberi kesan kepada sistem pelaporan kewangan korporat, iaitu: (1) sosial, (2) persekitaran, (3) ciri syarikat atau atribut organisasi, dan (4) ciri pengguna dan sumber maklumat yang lain. Menurut Thomas (1991), pemboleh ubah sosial merujuk kepada keputusan yang menyumbang kepada perbezaan atau persamaan praktis pelaporan di sesebuah negara adalah disebabkan oleh sistem ekonomi, perundangan dan politik sesebuah negara. Ketiga-tiga sistem ini turut mempengaruhi sistem pelaporan syarikat. Bagi negara yang dikawal oleh kerajaan, sistem pelaporannya adalah seragam bertujuan untuk memperuntukkan sumber melalui perancangan dan kawalan pusat. Ini adalah berbeza dengan negara yang mengamalkan sistem ekonomi campuran. Hasil kajian Barrett (1976) melaporkan bahawa terdapat perbezaan yang signifikan dari segi maklumat yang dilaporkan dalam laporan
tahunan antara syarikat di United Kingdom dan Amerika Syarikat serta negara-negara lain seperti Perancis, Switzerland dan Jepun. Thomas (1991) menjelaskan bahawa pemboleh ubah persekitaran terdiri daripada tiga dimensi stable-dynamic, dimensi homogeneous-heterogeneous dan dimensi hostility. Dimensi stabledynamic merujuk kepada kestabilan dan jangkaan terhadap citarasa pengguna dan tindakanpesaing (contohnya keluaran baru) dan sejauhmana perubahan teknologi dan sumber penawaran. Dimensi homogeneous-heterogeneous merujuk pasaran yang berbeza bagi produk. Apabila heterogeneous meningkat (terdapat pelbagai pasaran), sistem perakaunan yang diamalkan perlu diselaraskan dengan subsegmen persekitaran, dan maklumat yang dilaporkan dibahagikan mengikut pasaran bagi membolehkan pelabur menilai sumbangan setiap pasaran. Contoh pelaporan bagi dimensi ini ialah pelaporan bersegmen. Dimensi hostility pula merujuk kepada persaingan pasaran bagi produk dan ancaman kekurangan sumber disebabkan oleh mogok yang mana syarikat akan kurang melaporkan maklumat untuk mengelak pesaing mengambil peluang daripada maklumat yang dilaporkan. Pemboleh ubah ciri-ciri syarikat diterangkan dalam bentuk sumber-sumber yang dimiliki oleh syarikat dan bagaimana ianya diuruskan (Thomas, 1991). Thomas (1991) mengenal pasti lima ciri syarikat iaitu struktur organisasi, saiz, intensif modal, keumpilan dan struktur pemilikan. Malahan, beliau menjelaskan lagi iaitu pemboleh ubah ciri-ciri pengguna merujuk kepada perbezaan keutamaan terhadap maklumat, kebolehan memproses maklumat, gaya pembuatan keputusan dan keperibadian pembuat keputusan itu sendiri. Thomas (1991) juga menyatakan bahawa terdapat empat ciri pengguna iaitu model keputusan pengguna, cara pembuatan keputusan, ciri kognitif, dan tanggapan pengguna terhadap perakaunan dan lain-lain sumber maklumat. Pemboleh ubah yang dibincangkan dalam model sepertimana dicadangkan oleh Thomas (1991) mempengaruhi sistem pelaporan kewangan korporat dari segi:

(1)    Pelaporan, pengkelasan, persembahan, penilaian dan keperluan pengukuran bagi sesebuah negara. Pelaporan maklumat akan dipengaruhi oleh corak pembiayaan syarikat, sistem ekonomi negara berkaitan pemilikan serta pengeluaran dan bagaimana maklumat perakaunan digunakan dalam perancangan dan kawalan, dan sebagainya
(2)    .Kekerapan pelaporan (amaun maklumat yang dilaporkan dalam laporan intern tahunan berbeza), kaedah pengukuran (contoh: pengukuran kewangan atau bukan kewangan), kaedah peruntukan kos (contoh: belanja atau dipermodalkan, tempoh perlunasan dan sebagainya), elemen masa (contoh ramalan), darjah agregat dan decentralisasi (contoh: akaun gabungan dan pelaporan bersegmen). Semua ini dipengaruhi oleh faktor persekitaran dan ciri-ciri syarikat.
(3)    Kaedah pelaporan (penyataan, carta dan diagram), cognitive complexity (contoh boleh bacaan) dan pendedahan laporan bagi tujuan tertentu (contoh simplifiedaccounts). ianya berkaitan dengan ciri pengguna dan sumber maklumat lain.Model kontingensi sistem pelaporan kewangan korporat sepertimana yang dicadangkan olehThomas (1991) sepertimana dipaparkan di Rajah


Faktor kontingensi
Teori kontingensi menyatakan bahawa pemilihan sistem perakaunan dalaman oleh pihak pengurusan bergantung kepada desakan yang berbeza-beza ke atas entiti (Rayburn dan Rayburn, 1991). Malahan, Rayburn dan Rayburn (1991) menyatakan bahawa teori kontingensi berasaskan premis bahawa secara umumnya tiada satu sistem perakaunan yang sesuai diaplikasikan dengan sama rata kepada semua organisasi dalam apa jua keadaan. Zeithaml, et al., (1988) memberi contoh bahawa ahli teori dan penyelidik pengurusan mengenal pasti lebih daripada satu cara untuk mengurus secara efektif, lebih daripada satu strategi untuk memaksimumkan keuntungan dan mengukuhkan kedudukan pasaran, dan lebih daripada satu cara kepimpinan bagi mencapai matlamat organisasi. Tambahan lagi, setiap cara tidak mempunyai keberkesanan yang sama dalam pelbagai keadaan; sesetengah tindakan atau maklum balas organisasi lebih bersesuaian kepada organisasi bergantung kepada keadaan dan persekitaran (Galbraith, 1977). Antara pemboleh ubah kontingensi yang digunakan oleh penyelidik (Gordon dan Miller, 1976; Hayes, 1977, Waterhouse dan Tiessen, 1978) ialah attribut berorganisasi, persekitaran dan teknologi, dan cara pembuatan keputusan. Manakala, faktor kontingensi ialah pemboleh ubah yang membezakan hubungan antara penggunaan teknologi maklumat dengan pelaporan kewangan korporat dan boleh digunakan untuk menggambarkan arah aliran dan darjah hubungan sebab akibat (Xiao et al., 1996) iaitu persekitaran perniagaan, ciri organisasi, politik, sosial, ekonomi dan teknologi. Malahan, Waterhouse dan Tiessen (1978) menegaskan bahawa pada dasarnya teori kontingensi keberkesanan struktur organisasi berbeza dengan faktor konteks berkenaan organisasi seperti teknologi dan persekitaran. Dalam artikel ini, faktor kontingensi yang berkemungkinan dijangka mempengaruhi tahap PKMI ialah persekitaran, teknologi dan strategi pelaporan

daftar pustaka
 http://www.fppsm.utm.my/download/doc_view/199-pelaporan-kewangan-menerusi-internet-persepktif-teori-kontingensi.html logi dan strategi pelaporan

SEJARAH MARHAENISME


SEJARAH MARHAENISME         
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung.
                Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.

Ketika Bung Karno ‘memperkenalkan’ Marhaenisme sebagai ideologi PNI pada tanggal 4 Juli 1927, banyak orang yang ‘kebingungan’ atau bersikap sinis (kelompok nasionalis-borjuasi) dan mencibirnya (kelompok Marxist-Leninist).
                Di dalam konferensi di kota Mataram baru-baru ini, Partindo telah mengambil putusan tentang Marhaen dan Marhaenisme, yang poin-poinnya antara lain sebagai berikut:
  1. Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
  2. Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum Tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
  3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
  4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
  5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
  6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
  7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
  8. Jadi Marhaenisme adalah : cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
  9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.
Sembilan kalimat dari putusan ini sebenarnya sudah cukup terang menerangkan apa artinya Marhaen dan Marhaenisme. Memang perkataan-perkataannya di sengaja perkataan-perkataan yang populer, sehingga siapa saja yang membacanya, dengan segera mengerti apa maksud-maksudnya. Namun, ada satu kalimat yang sangat sekali perlu diterangkan lebih luas, karena memang sangat sekali pentingnya. Kalimat itu ialah kalimat yang kelima. Ia berbunyi: “Di dalam perjuangan Marhaen itu, maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.”
Satu kalimat ini saja sudah membuktikan, bahwa cara perjuanngan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang tidak ngelamun, cara perjuangan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang “menurut kenyataan”, cara perjuangan yang modern. Sebab, apa yang dikatakan di situ? Yang dikatakan disitu ialah, bahwa didalam perjuangan Marhaen, kaum Proletar mengambil  bagian yang besar sekali.
 Disini dibikin perbedaan paham yang tajam sekali antara Marhaen dan Proletar. Memang di dalam kalimat nomor 2, nomor 3 dan nomor 4 daripada putusan itu adalah diterangkan perbedaan paham itu: bahwa Marhaen bukanlah kaum Proletar (kaum buruh) saja, tetapi ialah kaum Proletar dan kaum Tani melarat Indonesia yang lain-lain, -misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan kaum lain-lain. Dan kemodernannya dan kerasionilannya kalimat nomor 5 itu ialah, bahwa di dalam perjuanngan bersama daripada kaum Proletar dan kaum Tani dan kaum melarat lain-lain itu, kaum Proletarlah mengambil bagian yang besar sekali: Marhaen seumumnya sama berjuang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup, Marhaen seumumnya sama berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan Marhaen seumumnya pula –namun kaum Proletar yang mengambil bagian yang besar sekali.
Ini, paham ”Proletar mengambil bagian yang besar sekali”-, inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasional. Sebab kaum Proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum Proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkenal oleh kapitalisme, kaum Proletarlah yang lebih “mengerti” akan segala-galanya kemodernan Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Mereka lebih “selaras dengan jaman”, mereka lebih “nyata pemikirannya,” mereka lebih “konkret”, dan…Mereka lebih besar harga perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang diatas awang-awang, tidak begitu “selaras jaman” dan “nyata pikiran” sebagai kaum Proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur gaulan abad keduapuluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu Adil” atau “Heru Cokro” yang nanti akan terjelma dari kalangan membawa kenikmatan surga dunia yang penuh dengan rezeki dan keadailan, ngandel akan “kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya pergaulan hidup baru dengan termenung di dalam gua.
Mereka di dalam segala-galanya masih terbelakang, masih “kolot”, masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya begitu: mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!
Sebaliknya kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal kaum tani”, sejak adanya soal ikutnya si tani di dalam perjuangan melawan stelsel (sistem, ed.) kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah berkata bahwa di dalam perjuangan tani dan buruh ini, kaum buruh lah yang harus menjadi “revolutionaire voorhode” alias “barisan muka yang revolusioner”: kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dibela dalam perjuangan anti kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu, -tetapi di dalam perjuangan bersama ini kaum buruhlah yang “menjadi pemanggul panji-panji Revolusi Sosial”. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu “social noodwendigheid” (suatu keharusan dalam sejarah, ed.), dan memang kemeangan ideologi merkalah yang nanti ada suatu “historische noodwendigheid”, -suatu keharusan riwayat, suatu kemustian di dalam riwayat.
Jikalau benar ajaran Marx ini, maka benar pula kalimat nomor 5 daripada sembilan kalimat diatas tadi, yang mengatakan bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum Buruh mempunyai bagian yang besar sekali.
Tetapi orang bisa membantah bahwa keadaan di Eropa tak sama dengan keadaan di Indonesia? Bahwa disana kapitalisme terutama sekali kapitalisme kepabrikan, sedang disini ia adalah terutama sekali kapitalisme pertanian. Bahwa disana kapitalisme bersifat zulvere industrie, sedang disini ia buat 75% bersifat onderneming (perkebunan, ) karet, “onderneming” teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya. Bahwa disana hasil kapitalisme itu ialah terutama sekali kaum Proletar 100%, sedang disini ia terutama sekali ia menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara. Bahwa disana memang benar mati hidup kapitalisme itu ada di dalam genggaman kaum Proletar, tetapi di sini ia buat sebagian besaar ada di dalam genggaman kaum tani. Bahwa  sepantasnya disana kaum Proletar yang menjadi “pembawa panji-panji,” tetapi disini belum tentu harus begitu juga.
Benar kapitalisme disini adalah 75% industril kapitalisme pertanian, benar mati hidupnya kapitalisme disini itu buat sebagian besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal ini tidak merubah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak teryangnya suatu tentara militer: yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu, tetapi toh ada satu barisan daripadanya yang ditaruh dimuka, berjalan dimuka, berkelahi mati-matian dimuka, -mempengaruhi dan menjalankan kenekatan dan keberaniannya seluruh tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan pelopor. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya klas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum Proletar.
Oleh karena itu, pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran ini, kerjakanlah ajaran ini! Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu, bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya! Pergerakan politik Marhaen umum adalah perlu, -tetapi sarekat buruh dan sekerja adalah juga perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan tiada hingganya!
JALAN DEMOKRASI MARHAENISME

Ketika reformasi naik panggung politik Indonesia, maka salah satu sajian utama pertunjukannya adalah: demokrasi. Apakah gerak teaterikal demokrasi tersebut, selama hampir sepuluh tahun ini telah memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945? Apakah pergeseran dari Orde Baru ke “Orde Reformasi” juga memberikan harapan pada kemungkinan adanya pergeseran struktur sosial rakyat Indonesia, sehingga ketimpangan structural yang ada sejak jaman VOC ini menjadi lebih berkeadilan? Jeffrey Winters telah mengingatkan, bahwa keruntuhan suatu rejim adalah tidak sama dengan keruntuhan oligarkinya. Kasus BLBI, yang menghangat pada tahun-tahun awal reformasi, dan kemudian pelan-pelan menghilang, serta akhir-akhir ini sempat menghangat lagi telah mengindikasikan hal tersebut. Tidak sedikit pula para oligarkh-oligarkh Orde Baru masih malang melintang, bahkan seakan tidak tersentuh.

Bukan Demokrasi, tetapi Poliarki: “Demokrasi Prosedural”
Pada tahun 1979, aparat pemerintah Amerika Serikat bersama dengan para akademisi, kelompok-kelompok perdagangan, pimpinan-pimpinan bisnis dan politisi – politisi yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat membentuk American Political Foundation (APF). Tahun 1981, APF merekomendasikan supaya “Amerika Serikat mempromosikan demokrasi ke luar”. Rekomendasi tersebut diterima oleh pemerintah AS sebagai “Proyek Demokrasi”. Pada tahun 1983, dibentuklah National Endowment for Democracy (NED). Selanjutnya, dalam kebijakan luar negeri, “promosi demokrasi” ini telah menjadi strategi utama Amerika Serikat. Negara-negara seperti, Nikaragua, Philipina, Chile, Panama dan juga Indonesia, satu per satu diterjang oleh “Proyek Demokrasi” ini. Strategi “promosi demokrasi” ini pun tidak lepas dari pergeseran ekonomi politik yang berkembang, yang nyata telah terjadi pergeseran sejak awal tahun 1970-an. Pergeseran tersebut adalah mulai berkembangnya ideologi neoliberalisme, dan memuncak dengan naiknya Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri di Inggris dan Ronald Reagen sebagai presiden Amerika Serikat. (William I. Robinson, 1992)
Jika demokrasi yang diusung reformasi adalah merupakan “promosi demokrasi” yang merupakan bagian dari “Proyek Demokrasi” Amerika Serikat, apakah itu berarti demokrasi serta-merta harus ditolak? Ada atau tidak adanya intervensi dari kepentingan asing dalam mengembangkan demokrasi, sebenarnya kita sebagai bangsa telah sepakat bahwa demokrasi adalah jalan yang terbaik, atau mungkin bisa dikatakan sebagai jalan yang lebih sedikit kelemahannya dibandingkan system yang lain. Dan konstitusi mendukung pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mengenai “promosi demokrasi” yang disponsori oleh Amerika Serikat, harus dimaknai bahwa yang sebenarnya bukanlah demokrasi yang dipromosikan, tetapi “poliarki”.
Poliarki –pemerintahan para elite dalam negara-nasion- sebagai suatu konsep dikembangkan oleh Robert Dahl. Latar belakang dari konsep ini adalah ketidak setujuan Robert Dahl bahwa rakyat betul-betul bisa memerintah, karena pada kenyataannya yang memerintah adalah hanya segelintir orang saja atau kaum elite. Menurut Dahl, poliarkhi merupakan sebuah tatanan politik yang menghadirkan 7 institusi:
1. Pemilihan pejabat. Kontrol terhadap keputusan-keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional adalah tetap pada pemilihan para pejabat.
2. Pemilihan yang Bebas dan Fair. Pemilihan pejabat yang sering dipilih dan pemilihan yang dilakukan secara fair dengan paksaan termasuk tidak biasa.
3. Hak pilih inklusif. Secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk memberikan suara dalam pemilihan pejabat
4. Hak ikut pemilihan pejabat. Secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk mengikuti pemilihan pejabat.
5. Kebebasan ekspresi. Warga Negara memiliki hak untuk mengekspresikan diri mereka tanpa bahaya hukuman yang keras mengenai persoalan-persoalan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk hak untuk mengkritik para pejabat pemerintah, rejim, tatanan sosio ekonomi, dan ideologi yang berjalan
6. Informasi alternative. Warga Negara memiliki hak untuk mencari sumber-sumber informasi alternative. Di samping itu, sumber-sumber informasi alternative yang ada dilindungi oleh hokum.
7. Otonomi berorganisasi. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk hak-hak yang telah disebut di atas, warga juga memiliki hak untuk membentuk asosiasi atau organisasi independent, termasuk partai-partai politik independent dan kelompok-kelompok kepentingan
                Dalam perkembangan selanjutnya definisi-definisi poliarki yang menekankan pluralisme politik dan pemilihan multipartai telah memberikan pengaruh yang besar pada definisi standard ilmu politik tentang demokrasi.
Konsep poliarki ini juga tidak bisa lepas dari tradisi demokrasi a la Joseph Schumpeter. Menurutnya, sebuah negara dikategorisasikan “…sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu dipilih melalui jalur pemilihan umumyang adil, jujur dan berkala, dan dalam system itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hamper semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”. Dapat dilihat disini bahwa esensi demokrasi ditandai oleh adanya “kompetisi dan partisipasi dalam pemilu” (lih, Praksis, Edisi VIII/2007 hal 7). Menurut pandangan ini, pemilu merupakan arena yang mewadahi:
1. kompetisi (kontestasi) antar actor-aktor politik untuk meraih kekuasaan
2. partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan
3. liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara
Mochtar Pabottingi memasukkan poliarki ini dalam demokrasi “kubu prosedural”. Kubu yang lainnya, meskipun ada beberapa hal yang saling mencakup, adalah kubu demokrasi “essensial”. Ada yang menyebut poliarki ini sebagai demokrasi minimalis/demokrasi formal/demokrasi electoral.

                Jika dilihat pelaksanaan demokrasi selama reformasi ini, maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang dilaksanakan adalah sebenarnya “poliarki”. Makna demokrasi perlahan dimaknai hanya sebatas pemilu saja (pemiluisme/electoralism).
Mencermati keluaran (output) dari pelaksanaan poliarki selama reformasi ini, maka dapat dilihat bahwa rakyat bukanlah penikmat utama yang merasakan buah pelaksanaan demokrasi. Ketika panggung teater pemilu selesai, maka selesailah pertunjukan demokrasi, dan rakyat diminta menunggu lima tahun untuk ikut dalam pertunjukan lagi. Selama lima tahun, setelah para elite terpilih oleh suara rakyat, gendang pertunjukan sudah tidak ditangan rakyat lagi, dan dapat dilihat, gendang pertunjukan diambil alih oleh apa yang bisa disebut sebagai big bussines. Modal-lah yang mengambil peran sebagai penabuh gendang bagi para elite terpilih untuk “njathil”. Bahkan sebenarnya, masih perlu dipertanyakan, apakah pernah rakyat memegang gendang? Sebelum pertunjukan pemilu-pun, kiranya gendang sudah ditangan para “big business” tersebut.

  Jika dilihat sejarah “promosi poliarki” ini tidak bisa lepas dari pergeseran ekonomi politik yang terjadi pada awal tahun 1970-an, maka bisa disimpulkan bahwa model “poliarki” inilah yang dianggap kompetibel terhadap kepentingan – kepentingan ideologi pasar bebas, seperti yang diusung oleh kaum pendukung neoliberalisme, para korporasi besar/big bussines. Sejak kemunculan dan perkembangannya, korporasi selalu mempunyai kecenderungan akumulatif, terlebih ketika merger dan akuisisi mendapatkan dasar hukumnya. Kecenderungan ini akan lebih mudah bekerja sama dengan elite-elite politik yang terpilih melalui jalan poliarki. Ingat apa yang pernah dikatakan Milton Friedman, salah satu guru neoliberalisme:”profit-making is the essence of democracy”. (Le Monde Diplomatique, August, 2007).
Yang pelu dipikirkan secara mendalam adalah apakah proyek “promosi poliarki” ini kompetibel terhadap cita-cita bangsa? Apakah kompetibel terhadap nasib kaum marhaen? Secara terus-terus menerus kaum marhaen dihadapkan dengan para intelektual organic dari “kubu procedural” ini, yang dengan segala sumber dayanya terus mengembangkan teori atau alat-alat pengukur “konsolidasi demokrasi” yang ujung-ujungnya adalah menguatkan bahwa demokrasi seperti itulah (poliarki) yang benar.

“Demokrasi Esensial”
Hampir semua teori dari kubu ini merujuk kepada mahakarya Rawls, A Theory of Justice. Rawls menekankan bahwa teori keadilan yang diajukannya mengasumsikan sepenuhnya dalam “suatu masyarakat yang terkelola dengan baik” (“a well-ordered society”) yang dirumuskannya sebagai suatu masyarakat di mana tiap warga menerima dan mengetahui bahwa tiap warga lainnya juga menerima prinsip-prinsip keadilan yang sama, dan lembaga-lembaga dasar kemasyarakatan memenuhi dan diketahui memenuhi semua prinsip ini” (Mochtar Pabottingi, 2007).
Menanggapi perkembangan demokasi kubu procedural, Sartori mengatakan:”kesalahan paling elementer dan naif” dari kubu procedural adalah “mereduksi demokrasi dengan namanya”, sehingga mereka terjebak dalam apa yang disebut “ demokrasi etimologis”. Sistem demokrasi seharusnya dibangun lantaran dorongan hasrat-hasrat ideal. Bagaimana demokrasi dalam kenyataan tak bisa dipisahkan dari bagaimana demokrasi dalam keharusan. Demokrasi ada hanya sejauh ia diwujudkan oleh ideal-ideal dan nilai-nilainya. Dengan kata lain, begitu kita berbicara tentang demokrasi yang baik, mau tak mau kita terbawa kembali kepada posisi-posisi normative atau preskriptif yang semestinya. Ian Shapiro menegaskan bahwa demokrasi takkan bisa bertahan jika ia tak membangun kebiasaan interaksi demokratis di kalangan masyarakat luas atau tidak terus bekerja memperkecil ketidakadilan dalam lembaga-lembaga yang menentukan kehidupan sehari-hari. (Mochtar Pabottingi, 2007)
Salah satu varian dari demokrasi essensial ini adalah apa yang disebut sebagai demokrasi deliberatif (demokrasi telaah), yang menekankan kembali tradisi deliberasi – yang mengandung arti telaah, bincang, runding, kupas, musyawarah – yang memang sudah menjadi ciri demokrasi sejak awal. Menurut Etzoioni, gagasan demokrasi deliberatif berangkat dari pemikiran “kontrak sosial” Rousseauian, dengan sebuah keyakinan bahwa kebaikan bersama (common good) dapat dipastikan dan dipromosikan melalui proses demokratis. Yang paling mendasar adalah proses pelibatan public dalam membuat keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Model ideal (dalam prakteknya) untuk demokrasi deliberatif adalah negara kota Athena atau rapat kota New England di AS. Beberapa perbedaan dengan demokrasi formal/procedural adalah Demokrasi Formal

Demokrasi Deliberatif
Hanya mampu menjangkau legalitas formal-prosedural Berupaya memperkuat legitimasi demokrasi
Memperkuat “demokrasi representative” Respon atas kelemahan teori dan praktek demokrasi liberal – berupaya mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga
Percaya pada kompetisi melalui proses agregasi politik (misalnya pemilu) Lebih menekankan forum public sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan bersama – memperluas ruang-ruang demokrasi

Apakah demokrasi deliberatif ini bisa menjadi “jalan demokratis” kaum marhaen? Beberapa kritik terhadap demokrasi essensial, antara lain adalah apakah jenis demokrasi ini dapat dilaksanakan dalam realitas? Sebetulnya dalam kehidupan sosial masyarakat, apa yang disebut sebagai “rembug desa” itu bisa juga dimaknai sebagai suatu bentuk demokrasi deliberatif. Jadi secara sosial budaya ada potensi untuk mengembangkannya di tingkat “grass root”.
Hanya masalahnya, apakah demokrasi deliberatif ini dapat dilaksanakan dalam level yang lebih luas? Perlu kiranya secara kritis dilihat masalah demokrasi deliberatif ini kemungkinan dikembangkan sebagai partner dari “promosi poliarki”, yaitu “promosi demokrasi deliberatif”, dimana konteks promosinya bukan dalam mengembangkan suatu demokrasi esensial, tetapi justru untuk memperkuat output dari “promosi poliarki”
Tesis Karl Polanyi mengenai “double movement”, dimana ketika pasar bebas menjadi dominant dalam setiap segi kehidupan masyarakat maka akan ada reaksi dari masyarakat untuk akan melindungi diri dalam rangka mempertahankan diri. Dan ketika pasar bebas merambah dengan sangat bebasnya – dengan prinsip free fight competition-nya – di Indonesia melalui panggung reformasi, pengalaman menunjukkan, jika reaksi dari aras bawah ini tidak dikendalikan maka dia akan menjadi penantang yang serius di kemudian hari. Maka ini perlu dikendalikan, dan demokrasi deliberatif yang disterilkan dari visi politik-lah (konteks negara) salah satu yang bisa menjadi instrumen. Demokrasi deliberatif yang dimandulkan visi politiknya pada akhirnya ini akan mengarah pada suatu yang bisa disebut sebagai “lokalisme”, suatu sikap yang memandang bahwa yang nyata adalah yang lokal. Di luar itu adalah “ngoyo woro”.
Lokalisme ini akan mengakibatkan disintegrasinya kesadaran terhadap kesadaran suatu “komunitas yang dibayangkan” seperti ketika proklamasi dideklarasikan. Di satu pihak, elite politik yang terpilih dari proses “demokrasi poliarki” telah dibajak oleh kepentingan korporasi besar (lihat penjelasan Noorena Heertz), dengan produk-produk hukum yang semakin memarginalkan peran negara demi kepentingan korporasi besar, di pihak lain kekuatan arus bawah dikotakkan dalam kesadaran lokalisme, di mana akses kepada negara sebagai pengejawantahan “komunitas terbayang” menjadi terbatas karena telah mengalami disintegrasi dalam kesadaran politisnya.
Jadi meskipun prinsip-prinsip “demokrasi deliberatif” dapat merupakan suatu yang mendasar dalam mengembangkan demokrasi yang essensial, tetapi hal itu juga dapat menjadi instrumen yang efektif sebagai partner dari “demokrasi poliarkis” ditangan para pendukung ideologi neoliberalisme. Sebuah pensil bagi seseorang bisa digunakan untuk menuliskan pikirannya di atas kertas, tetapi ditangan ahli kung fu pensil bisa menjadi senjata yang mematikan.
Yang selanjutnya adalah bagaimana demokrasi bisa menjadi jalan perjuangan bagi kaum marhaen dalam menegakkan atau meraih kepentingan dan cita-citanya?

Politik, Bukan Ekonomi
Akhir-akhir ini berkembang suatu wacana bahwa yang utama adalah masalah ekonomi. Masalah krisis atau masalah bagaimana keluar dari krisis, atau bagaimana masalah membangun negara bangsa, adalah bagaimana menyelesaikan masalah ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ekonomi merupakan hal yang sangat penting terhadap kelangsungan dan berkembangnya suatu bangsa. Tetapi harus diingat bahwa, bukan dengan mengedepankan aspek ekonomi sebagai ujung tombak maka masalah bangsa akan mendapat solusinya, tetapi adalah politik.
Klaim pasar bebas, dimana negara dalam pasar bebas perannya akan semakin minimal, justru merupakan paradoks. Ideologi pasar bebas yang diusung oleh kaum neoliberalis justru dapat berkembang menjadi ideologi dominant setelah memperoleh kekuatan politik melalui naiknya Margaret Tatcher dan Ronald Reagen di puncak kekuasaan Inggris dan AS. Bagaimana negara dipaksa untuk menggelar karpet merah bagi masuknya pasar bebas dengan produk-produk hukumnya mengindikasikan bahwa sejauh negara dapat mendukungnya, maka peran negara adalah maksimal dalam pelaksanaan pasar bebas. Aspek negara sebenarnya memegang peran sentral bagi para pendukung neoliberalisme. Dan juga sebenarnya, peran negara bisa menjadi jembatan emas bagi kaum marhaen untuk memperjuangkan cita-citanya. Jadi, dalam aras nasional, harus dipandang bahwa masalah bagaimana peran negara harus dilaksanakan merupakan ajang pertempuran dari kepentingan – kepentingan kaum marhaen dan para oligarkis (juga para pemburu rente) yang merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan big bussiness. Dan itu adalah masalah politik.
Politik menurut Lasswell (1936) adalah merupakan “siapa yang mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Morgenthau (1960), politik sebagai “perjuangan untuk mendapat kekuasaan”. Schattschneider (1960) mengatakan politik sebagai “seni dan ilmu tentang pemerintahan”. “Politics is war without bloodshed while war is politics with bloodshed “ (Mao 1938) atau menurut Lenin (1920), “politics begin where the masses are, not where there are thousands, but where there are millions, that is where serious politics begin”.
Dalam perjalanan sejarahnya, pilihan kelompok-kelompok sosial yang ada pada struktur bawah dalam struktur sosial yang terbangun sejak jaman VOC, “dipaksa” untuk mengambil jalan politik. Jalan ekonomi, jelas secara nyata asimetri hubungan yang ada terlalu tidak seimbang. Ini bisa dilihat ketika Sarekat Dagang Islam akhirnya merubah diri menjadi Sarekat Islam (lihat Farchan Bulkin, Negara, Masyarakat dan Ekonomi, 1984). Kesenjangan yang semakin melebar dalam kerangka pelaksanaan pasar bebas sudah banyak dibuktikan di berbagai negara. Asimetri dalam hal ekonomi yang semakin kuat ini harusnya semakin menyadarkan bagi kaum marhaen untuk menyadari bahwa membangun kekuatan politik untuk merebut sumber daya – sumber daya ekonomi adalah merupakan pilihan strategis utama. Dan kekuatan politik ini harus dibangun untuk mempunyai kekuatan dalam mengambil peran negara sehingga produk-produk hukumnya dapat berpihak bagi kepentingan kaum marhaen.

Partai

Jika demokrasi telah disepakati sebagai jalan untuk mencapai cita-cita, maka membangun partai sebagai instrumen artikulasi politik kaum marhaen haruslah menjadi strategi utama. Partai yang seperti apakah yang seharusnya dibangun sehingga mampu berperan sebagai instrumen kaum marhaen dalam perjuangannya?
Yang pertama-tama disadari adalah bahwa partai merupakan kumpulan manusia, bukan kumpulan atau gabungan dari kapital/modal. Karena merupakan kumpulan manusia maka tentunya partai selalu akan menjaga harkat dan martabat manusia. Dimensi manusia adalah dimensi sebagai individu dan sosial. Manusia ada karena bersama dengan manusia lain. Maka mekanisme partai yang dibangun haruslah tetap menghargai manusia sebagai individu tetapi sekaligus juga bagaimana dibangun mekanisme partai yang mampu mengembangkan kolektifitas anggotanya. Berkembang maraknya oligarki dalam tubuh partai sebetulnya merupakan pengingkaran kemanusiaan, baik secara individu maupun secara sosial. Berbicara mengenai organisasi (termasuk partai) adalah tidak bisa tidak harus berbicara mengenai oligarki. Maka jika partai gagal membuat mekanisme untuk menghapus atau mungkin yang paling realistis, mengendalikan oligarki, maka partai akan mudah untuk mengingkari bahwa partai adalah merupakan kumpulan manusia, dan yang terbukti dalam praktek kepartaian di beberapa partai, partai sudah merupakan kumpulan dari kapital.
Berbagai wacana mengenai “character national building” atau keprihatinan mengenai kehancuran karakter bangsa disebabkan karena selama Orde Baru berkuasa, pembangunan dititik beratkan pada ekonomi. Pembangunan manusia seakan dilupakan, sehingga sekarang kita dibuat “terkaget-kaget” ketika Malaysia, India melaju sebagai bangsa yang kuat.
Partai-partai yang ada melupakan fungsi partai dalam melakukan pendidikan politik bagi anggota khususnya dan rakyat pada umumnya. Ini bisa dilihat, bagaimana reaksi partai-partai ketika masalah calon independent digulirkan. Jika partai melakukan pendidikan politik bagi konstituennya secara berkesinambungan maka tentunya calon independent ada atau tidak bukan merupakan masalah besar. Pendidikan politik akan mengembangkan pengetahuan konstituen partai yang akan mendasari dukungan kepada partai. Dukungan kepada partai bukan karena uang (money politics), atau takut kepada satgas/laskar, tetapi karena pengetahuan yang dipunyainya, membuat keputusan yang rasional bahwa mendukung partai adalah keputusan politik yang tepat. Demikian juga visi, program partai akan lebih mudah diserap oleh konstituen, dan juga konstituen mampu mengontrol jalannya partai jika pengetahuan bersama meningkat karena pendidikan politik. Partai dalam hidup kesehariannya menjadi entitas yang tidak terasing dari konstiuennya.
Manusia sebagai pusat perubahan inipun mendapat tantangan yang cukup besar dengan berkembangnya media dalam membingkai aktifitas politik. Sebesar apapun media dalam memberikan kontribusinya kepada kesadaran politik masyarakat, tetap saja sifat kontribusinya ádalah tidak lebih sekedar informasi, bukan dialog yang memanusiakan. Melihat awal reformasi, dapat dilihat bahwa justru media, terutama televisi telah membajak berkembangnya kesadaran kritis massa. Munculnya selebriti-selebriti baru para komentator politik di layar kaca membuat politik menjadi seperti tontonan film yang dinikmati saat tayang, dan dilupakan setelah tayangan selesai. Partai-partai gagal melakukan pendidikan politik langsung dan berkelanjutan kepada anggota dan konstituennya, dan hasilnya adalah kekuatan lama Orde Baru-pun tanpa sungkan kembali tampil. Jika melihat yang terjadi di Venezuela, begitu Hugo Chavez memegang tampuk kekuasaan, pendidikan-lah salah satu program utama. Mestinya bukan hanya akademis yang dilaksanakan dalam program pendidikannya, tetapi juga pendidikan politik, yang ke depan jika rakyat semakin terdidik secara politik, pada akhirnya akan mendukung perubahan yang diprogramkan oleh Chavez.
Besarnya dana kampanye yang dialokasikan dalam media menunjukkan bahwa manusia bukan menjadi sumber daya politik utama partai. Dialog dalam arti pendidikan politik paling efektif seharusnya hanya bisa dilakukan melalui partai dan perangkatnya.
Partai yang dapat sebagai alat perjuangan kaum marhaen adalah partai yang dikelola dengan baik. Dikelola dengan baik dimaksudkan adalah dikembangkannya suatu mekanisme partai dimana berdasarkan asas kesetaraan, partai mampu dikontrol oleh anggota-anggotanya. Kontrol partai yang dilakukan oleh anggota yang terdidik secara politik dan ideologi akan memberikan dampak solidnya partai. Pembusukan partai dari internal partai sering terjadi karena kontrol partai oleh anggota partai tidak berjalan atau karena tidak terdidiknya anggota partai atau karena keduanya.
Dikelola dengan baik juga berarti bahwa partai mampu tetap relevan atau kompetibel terhadap berbagai situasi yang berkembang, baik situasi yang berkembang diakibatkan situasi obyektif berupa tuntutan-tuntutan dalam negeri maupun perubahan-perubahan geopolitik internasional serta perkembangan-perkembangan yang dipercepat oleh kemajuan-kemajuan tehnologi. Partai harus mampu dikelola secara dialektis dalam konteks ruang dan waktu yang secara dinamis terus berubah.
Pendidikan politik dalam partai haruslah dilihat sebagai strategi perjuangan, yang memakai terminologi Gramsci mungkin dekat dengan pengertian “perang posisi”. Prinsip-prinsip demokrasi deliberatif, yang menekankan telaah, musyawarah, kupas, bisa dikembangkan partai secara kritis pada level partai yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dialog yang terbuka, saling mengisi dan cerdas serta yang dibicarakan adalah mengenai apa yang sudah dan akan dikerjakan, juga tentang masalah-masalah actual dan potensial yang dihadapi rakyat, maka jika ini dilakukan secara terus menerus akan menjadi pendidikan politik yang luar biasa dan dapat sebagai media pengembangan ideologi partai. Pertarungan dan kemenangan partai akan merupakan pertarungan dan kemenangan ideologis. Sedang bagaimana partai dikelola dengan baik, adalah menyiapkan partai dalam strategi “perang gerakan” atau “perang maneuver”. Kedua hal tersebut, membangun kemampuan untuk masuk dalam “perang posisi” dan “perang gerakan” merupakan syarat utama dimana partai bisa menjadi alat bagi kaum marhaen dalam menapak jalan demokrasi, demi terwujudnya cita-cita.
Jalan demokratis bagi kaum marhaen adalah bagaimana berjuang melalui partai. Maka, jika sampai sekarang marjinalisasi kaum marhaen tetap saja berlangsung, pertama-tama yang harus dilihat adalah partainya. Sudah punyakah kaum marhaen partai yang mampu memperjuangkan dan mengawal cita-citanya? Jika kaum marhaen sudah mampu mengembangkan partai sesuai dengan bagaimana partai harus dikembangkan dalam mewujudkan cita-citanya –seperti yang telah diuraikan di atas -, maka pilihan berjuang lewat jalur politik adalah merupakan keputusan yang tepat dan strategis, bahkan jika dihadapkan pada “demokrasi poliarkis” sekalipun.
Romantika, dinamika dan dialektika ber-partai adalah jalan demokratis massa m
arhaen.***


Resensi: